Minggu, 21 November 2010

Mengapa Masyarakat Merapi Enggan Mengungsi....?



Tigapuluh dua warga sekitar Gunung Merapi meninggal akibat abu panas yang menyembur dari kawah gunung berapi paling aktif di Indonesia ini pada hari Selasa (26/10) sore, padahal seharusnya korban jiwa bisa dihindari.

Letusan Gunung Merapi ini memang sudah diramalkan sejak akhir minggu ketika Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika menetapkan status siaga setelah terjadi penggembungan kawah.
Media di Indonesia melaporkan status siaga ini membuat pihak berwenang memutuskan agar warga yang berada di lereng gunung itu segera mengungsi sebagai upaya mencegah jatuhnya korban.

Pada hari Senin (25/10) status Gunung Merapi ditingkatkan menjadi awas setelah penggembungan yang lebih cepat dan lebih besar daripada sehari sebelumnya, perintah yang keluar terhadap warga adalah pengungsian.
Korban yang meninggal sebenarnya bisa dihindari jika ada perencanaan
Namun, meninggalknya puluhan warga ketika gunung berapi itu meletus menunjukkan bahwa perintah untuk meninggalkan rumah tidak didengar dan diikuti oleh sebagian besar warga di Gunung Merapi.

Sejumlah warga yang sempat diwawancarai oleh BBC Indonesia dan media lain dikutip mengatakan mereka sedang melakukan aktivitas sehari-hari ketika letusan terjadi, sementara alasan mereka tidak mengungsi meski telah mendapat peringatan adalah tidak percaya peringatan itu akan terjadi karena pada tahun 2006 tidak terjadi letusan padahal mereka sudah mengungsi.
Aspek budaya

Selain itu bagi warga Gunung Merapi merupakan sumber kehidupan yang menjadi sumber nafkah mereka, mulai dari pertanian hingga peternakan. Secara kultural ada semacam ikatan kuat antara masyarakat di sana dengan gunung berapi itu karena mereka merasa aman dan nyaman secara ekonomis
Dengan kata lain mereka tidak bisa begitu saja meninggalkan sumber mata pencaharian yang sangat penting bagi mereka untuk tinggal di tempat pengungsian. Sehingga para masyarakat lereng gunung merapi  enggan untuk mengungsi karena mereka memikirkan keadaan ternak mereka bila mereka pergi mengungsi.

Selain masalah mata pencaharian, masyarakat lereng gunung merapi juga masuh sangat mempercayai hal-hal yang bersifat magis/irasiaonal. Seperti kepercayaan masyarakan terhadap sang juru kuncen Mbah Marijan. Masyarakat menganggap bahwa Mbah Marijan adalah orang yang mampu meredam kekuatan gunung merapi karena dialah sang kuncen yang ditunjuk langsung dari Kesultanan Kraton Yogyakarta. Jadi selama Mbah Marijan tidak mengungsi tidak akan terjadi apa-apa atau dengan kata lain Mbah Marijan adalah patokan atau kiblat bagi masyarakat lereng apakah akan terjadi sesuatu atau tidak tehadap gunung merapi. Yang sangat disayangkan adalah bahwa Mbah Marijan sendiri tidak tahu kapankah gunung merapi akan meletus.

Selain itu, pemerintah tampaknya tidak siap dalam menampung para pengungsi ini.Lokasi yang jauh dari pusat kegiatan inti warga membuat mereka tidak bisa melanjutkan pekerjaan sehari-hari ataupun menjaga harta benda yang ditinggalkan.

Seharusnya pemerintah sudah memiliki satu rencana yang lebih menyeluruh dan lebih rapih dalam menghadapi satu bencana yang secara ilmiah diketahui akan terjadi.

Untuk mengatasi permasalahan seperti ini, permerintah harus segera mensosialisasikan bagaiman cara mengetahui cirri-ciri gunung yang statusnya cukup berbahaya dan pemerintah harus sering mengadakan simulasi-simulasi bila keadaan merapi meningkat lagi. Dan perintah harus mendapatkan rasa kepercayaan dari masyarakat yang tinggal di lereng merapi.